Judul Postingan : Piala Presiden 2019, Romantika Final Klasik dan Hiburan Papan Atas Sepak Bola Indonesia - Bolalob
Share link ini: Piala Presiden 2019, Romantika Final Klasik dan Hiburan Papan Atas Sepak Bola Indonesia - Bolalob
Piala Presiden 2019, Romantika Final Klasik dan Hiburan Papan Atas Sepak Bola Indonesia - Bolalob
Ide presiden itu, mampu diaplikasikan oleh Maruarar Sirait, seorang politisi yang juga gila sepak bola. Maruarar berharap Piala Presiden menjadi turnamen sepak bola yang mandiri dan juga menampilkan hiburan papan atas.
Pria yang akrab disapa Ara itu juga dengan cakap menjalankan Piala Presiden agar menjadi role model pengelolaan kompetisi sepak bola di Tanah Air.
“Membuat sepak bola Indonesia transparan terutama soal keuangan, turnamen Piala Presiden harus diadut dan tidak menggunakan uang negara,” ujar Maruarar yang juga menjabat sebagai Steering Committee (SC) Piala Presiden, beberapa waktu lalu.
Meski berstatus turnamen pramusim, namun gengsi klub tak pernah dikesampingkan. Lihat saja, Aremania tumpah ruah di Stadion Kanjuruhan usai Singo Edan memastikan gelar juara Piala Presiden 2019 di Stadion Kanjuruhan, Jumat (13/4/2019).
Pesta Aremania mulai pecah saat wasit Nusur Fadhillah meniup peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan. Singo Edan meraih juara setelah menang 2-0 di kandang dan imbang 2-2 di Surabaya. Laga final kali ini memang digelar dengan format baru, yakni kandang dan tandang.
Format tersebut ternyata membuat masyarakat sepak bola Indonesia bergairah menyaksikan laga demi laga Piala Presiden. Pada pertandingan final leg pertama, Stadion Gelora Bung Tomo, kandang Persebaya dipadati Bonek (pendukung setia Persebaya).
Euforia Bonek yang luar biasa juga membuat final terasa sempurna. Kedua tim memang memiliki sejarah rivalitas yang cukup dalam. Kutub sepak bola Surabaya dan Malang terasa kurang harmonis jika berbicara laga sepak bola Persebaya melawan Arema.
Tapi, kekhawatiran tersebut seolah ditepis oleh Maruarar Sirat. Menurutnya, suporter sudah memiliki kesadaran dalam mendukung timnya.
"Saya pikir (keamanan) bagus, kami juga sudah dan terus berkomunikasi dengan Kapolri. Dengan Panglima TNI juga kami bertemu, hubungan semua pihak sangat bagus. Tetapi yang paling penting, ada semangat dari suporter yang sudah mulai ada kesadaran bersama untuk menjadi lebih baik lagi," kata Ara.
Menilik lebih dalam, ucapan Ara memang ada benarnya. Sebagai hiburan Piala Presiden menyajikan banyak pertandingan berkualitas. Tak hanya kualitas, romantika masa lalu dan rivalitas juga terjadi di Piala Presiden.
Romantika sekaligus rivalitas persaingan Persebaya dan Arema menjadi bumbu menarik Piala Presiden. Tujuan pramusim sekaligus hiburan masyarakat sepak bola terasa sempurna ketika laga final menampilkan Persebaya dan Arema.
Sebelum larut dengan kata sempurna, ada baiknya kita melihat ke belakang. Romantika dua kota besar di Jawa Timur masa lalu mengajarkan kita arti membutuhkan satu sama lain. Namun, seiring perkembangan, subkultur bernama sepak bola menjadi representasi kehidupan masyarakat di Kota Surabaya dan Malang. halaman 2 dari 3
Malang dan Surabaya merupakan dua kota yang berada di provinsi Jawa Timur. Kedua kota itu merupakan kota yang sangat Jawa Timur karena tak terpengaruh dengan budaya Madura-Islam dan juga nyaris tak mendapatkan asupan budaya Mataram seperti kota di bagian barat lainnya.
Subkultur dikembangkan oleh masyarakat Malang dan Surabaya. Malang berada di daratan tinggi dan diberkahi keindagan alam, identic dengan kota wisata, pendidikan dan pertanan. Sedangkan Surabaya menjadi kota besar dengan perdagangan dan industri, mirip dengan Jakarta.
Malang dan Surabaya sebenarnya saling membutuhkan. Warga Surabaya membutuhkan tenpat wisata dengan udara yang bersih dan segar khas Malang. Kebalikannya, warga Malang perlu pelayanan finansial dari Surabaya.
Akan tetapi dinamika kehidupan di kedua kota tersebut terus berkembang. Saling bersaing antar kota terasa lebih dominan saat ini ketimbang kebutuhan. Sepak bola menjadi wadah warga kedua kota itu mengekspresikan persaingan.
Bicara sepak bola, Persebaya berbeda dengan Arema. Bajul Ijo sudah lahir pada tahun 1928 dengan nama awal Soerabajasche Indische Voetbal Bond (SIVB). Kompetisi yang diikuti adalah Kampeonturnoi PSSI yang dimulai pada tahun 1931.
Dengan kata lain, Persebaya menjadi klub utama Surabaya. Sama hal dengan klub-klub yang berdiri pada era 1920-an, seperti PSIM Yogyakarta, PSM Makassar, PPSM Magelang, dan Persija Jakarta. Organisasi Persebaya menjadi besar karena perjuangan Indonesia merdeka melalui jalur olahraga, khususnya sepak bola.
Dekade 1970-an akhir, PSSI membentuk Liga Sepak Bola Utama (Galatama). Klub-klub semi-profesional di setiap kota pun berdiri. Jakarta memiliki Pelita Jaya, Warna Agung, Caprina, dan Arseto, sebelum dua nama terakhir pindah ke Pulau Bali dan Solo.
Begitu juga dengan Surabaya. Nama Niac Mitra menjadi wakil Kota Pahlawan di Galatama. Malang juga tak mau kalah dengan mendirikan Arema pada 11 Agustus 1987. Sebelumnya di kota Malang ada klub perserikatan dengan nama Persema Malang yang berdiri 20 Juni 1953.
Pamor klub-klub Galatama memang lambat laun menyaingi para seniornya di Kompetisi Perserikatan. Namun fanatisme belum bisa dibeli oleh klub-klub Galatama. Terbukti, orang-orang Surabaya masih tetap mendukung penuh Persebaya di Stadion Tambaksari. Niac menjadi alternative warga Surabaya jika Persebaya tak bermain.
Tapi pengecualian bagi Arema. Prestasi Kera-kera Ngalam Arema lebih tinggi ketimbang sang kakak, Persema Malang. Alhasil, warga Malang pun lebih tertarik dan menjiawai Arema. Arek Malang, idiom yang ada di Arema jadi representasi publik sepak bola Malang.
Dekade 1990-an, klub-klub Galatama mulai kehilangan stabilitas ekonomi. Niac Mitra dan Assyabab perlahan hilang dari peredaran. Tapi di Malang menjadi pengecualian, karena Persema perlahan-lahan hilang karena kalah prestasi mentereng dari Arema.
Arema meraih titel juara Galatama pada musim 1992-1993. Sesuatu yang belum bisa diberikan Persema kepada publik Malang hingga saat ini. Selain itu di era modern, Arema menjadi juara Liga Indonesia pada musim 2004 dan 2009-2010. Torehan itu membuat Arek Malang mendukung perjuangan Arema dengan sepenuh hati.
Di kubu Surabaya, dukungan loyal suporter Arek Suroboyo kepada Persebaya sudah tak terbantahkan. Arema pun demikian, suporter loyal mereka mulai terbentuk dan fanatik dengan klub berlogo Singa, yang merupakan khas Kota Malang sejak lama.
Sejak Liga Indonesia bergulir pada 1994, Persebaya dan Arema menjadi simbol dan wujud nyata aspirasi sepak bola Kota Surabaya dan Malang. Persaingan besar sepak bola di kawasan Jawa Timur menjadi terbuka dan tertuju kepada Persebaya dan Arema.
Hijau menjadi identitas Persebaya sejak lahir. Gaya Surabaya yang nekat dan tak segan berkonfrontasi membela kota menjadi simbol Bajul Ijo. Suporter mereka yang bernama Bonek alias Bondo Nekat seperti mewakili arek-arek Suroboyo dalam setiap lawatan Persebaya ke kota lain.
Sedangkan Arema, diwarnai dengan gambaran yang lebih adem. Warna biru memang terlihat sejuk dan mewakili Malang yang berada di daratan tinggi. Cara mendukung yang lebih kalem dengan mengutamakan kreativitas di tribune dengan lagu-lagu khas Amerika Latin jadi ciri Aremania, sebutan pendukung setia Arema.
Mencari akar rivalitas setiap klub sepak bola memang sulit, sesulit mencari ketiak ular. Ada beberapa urban legend yang kerap diceritakan para orang tua yang lebih dulu merasakan era-era awal.
Ambil contoh, persaingan Persija Jakarta dan Persib Bandung yang baru kental pada 1980-an. Bicara rival Persija sebelumnya, Persebaya dan PSMS menjadi pesaing paling sejati Macan Kemayoran di setiap kompetisi.
Tapi kultur yang terus berubah membuat persaingan-persaingan kota besar hadir dalam bentuk apapun, termasuk gengsi antar kota. Hal itu menyasar ke Persebaya dan Arema hingga kini. Kutub kota besar dan prestasi dirasa jadi stimulus yang pas mencari persaingan tersebut. halaman 3 dari 3
Persebaya pernah terpuruk panjang karena masalah dualisme. The Green Force bahkan harus berjuang kembali dari bawah sebelum kembali ke habitat aslinya, yakni kompetisi papan atas Indonesia. Anak-anak Karanggayam kembali menyentuh kasta tertinggi setelah menjaurai Liga 2 2016.
Pembenahan finansial dilakukan Persebaya. Gaya pengelolaan ala basket dari presiden klub, Azrul Ananda membuat citra Persebaya dan Bonek perlahan-lahan berubah menjadi positif.
Begitu juga dengan Arema. Kreativitas ala Malang tetap menjadi ciri khas Arema dan Aremania. Secara kekuatan, Arema terbilang stabil. Mereka bahkan menjadi klub papan atas Indonesia di era sepak bola modern saat ini. Sangat jarang melihat klub eks Galatama tetap eksis di Liga Indonesia, selain Arema.
Tahun 2019 menjadi tahun ‘panas’. Tak hanya tahun politik dengan adanya Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang bersamaan, tapi juga tahun ‘panas’ sepak bola Indonesia, khususnya bagi PSSI.
Adanya kasus pengaturan skor membuat sepak bola Indonesia kehilangan kepecayaan dari publilk. Petinggi-petinggi PSSI satu persatu jadi tersangka oleh Kepolisian Republik Indonesia, termasuk Plt Ketua Umum PSSI, Joko Driyono.
Keterpurukan itu coba dibangkitkan lagi dengan adanya Piala Presiden 2019. Turnamen pramusim paling bergengsi ini pun kembali diadakan atas kerja sama pemerintah dengan PSSI plus menggandeng semua stakeholder sepak bola Indonesia.
Hiburan sepak bola perlahan kembali mendapat tempat di hati masyaeakat. Laga-laga Piala Presiden dipadati suproter. Lalu acara nonton bareng juga banyak digelar di banyak tempat. Ekonomi kerayakyataan pun terbantu dengan adanya pertandingan sepak bola Piala Presiden.
Sejak awal fase grup hingga 8 besar, Piala Presiden memang menimbulkan banyak kejutan. Persija, Persib, Persipura Jayapura, dan PSM Makassar sebagai klub legendaris terhenti di fase grup dan babak 8 besar. Persija bahkan harus kehilangan kesempatan mempertahankan gelar juara Piala Presiden yang diraih pada 2018.
Klub baru seperti Kalteng Putra berhasiil merangsek ke persaingan kelas atas. Begitu juga dengan Madura United yang cukup bersanding denga Persebaya. Namun, nama besar Arema dan Persebaya taj cukup membuat Madura dan Kalteng mencapai final.
Laga yang ditunggu-tunggu oleh publik sepak bola Indonesia. Rivalitas yang sudah dijabarkan dari tulisan di atas, membuat final Piala Presiden terkesan glamor, wah, dan menjadi hiburan papan atas sepak bola Indonesia.
Begitu Persebaya dipastikan bertemu Arema, romantisme dan rivalitas masa lalu kembali megelilingi isi kepala publik sepak bola nasional, khususnya Bonek dan Arema. Persaingan masa lalu yang mungkin penuh luka sebisa mungkin diredam.
Bonek sebelumnya mendapat perhatian dengan kegiatan sosialnya. Aksi melempar bonek untuk penderita kanker bukti Bonek sedikit lepas dari kesan agresi dan kekerasan. Perlahan paradigma baru Bonek mulai diterapkan.
Aremania juga tak tak mau kalah dalam urusan kreativitas. Barisan suporter Arema itu terus mengumandakan dukungan kepada Arema dengan bentuk gerakan, chant, dan bendera-bendera besar Arema sebagai penyemangat.
Dirijen sekaligus dedengkot Aremania, Yuli Sumpil, yakin Aremania tidak akan berbuat tindakan-tindakan yang di luar batas dan melanggar aturan. Dia yakin Aremania sudah cukup dewasa dengan kondisi yang ada.
"Saya yakin Aremania pintar dan cerdas dalam menempatkan dirinya saat dukung tim. Tidak turun ke lapangan. Saya juga akan tetap figth dan jaga emosi. Jangan sampai rugikan tim dan banyak pihak. Ini momen final yang banyak di soroti," papar Yuli.
Rivalitas tersebut ditangkap oleh para pemain dan staf kedua tim. Mereka tak ingin mengecewakan harapan para suporter, terlebih laga ini mengandung sarat emosi dan persaingan antar Kota.
Asisten pelatih Persebaya, Bejo Sugiantoro mengibaratkan laga kontra Arema di final merupakan jihad. Tentu jihad yang dimaksud adalah kata positif dengan mengibaratkan laga hidup mati, karena ini final dan lawan bernama Arema.
“Bagi kami laga ini ibarat jihad, harus dijalani dengan segenap jiwa dan raga. Kami harus menang berapapun skornya,” kata Bejo sebelum pertandingan final leg pertama di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, 8 April 2019.
“Yang jelas kami harus bermain seperti ciri khas kami, ngotot, ngeyel. Ini kandang kami dan harus dimenangkan,” kata eks pemain Persebaya era 1990-an dan 2000-an awal itu.
Ambisi besar Persebaya diuji di puluhan ribu Bonek yang memadati Stadion Gelora Bung Tomo pada leg pertama. Sayang saja, Persebaya hanya bermain imbang 2-2 dengan Arema.
Arema bermain lebih lepas. Barisan pemain pengalaman memang terlihat nyata dalam permainan Arema. Pelatih Milomir Seslija juga paham dengan mematikan sayap plus Amido Balde di kubu Persebaya.
Leg kedua menjadi momen Aremania menumpahkan emosinya, tentu emosi positif dalam chant dan dukungan militant di Stadion Kanjuruhan. Perseabay bisa menekan Arema pada babak pertama, tapi benteng Singo-singo Edan terlalu tangguh bagi Bajul Ijo.
Hasilnya Nur Hadianto dan Ricky Kayame bisa menaklukkan pertahanan Persebaya. Jalan bergetar, penonton sorak, dan Arema pun juara. Malam yang indah bagi Arema namun buruk bagi Persebaya.
Walaupun demikian, pertandingan dua leg Persebaya kontra Arema sudah menjadi tontonan berkualitas bagi insan sepak bola Indonesia. Hampir semua mata tertuju kepada laga final Piala Presiden 2019.
Terbukti laga final mencatatkan rating tinggi untuk televis. Siaran langsung Persebaya melawan Arema mendapat rating 9.8 persen dan share 34.5 persen. Angka yang cukup tinggi untuk pertandingan sepak bola nasional.
Piala Presiden tahun ini sukses menggelar hiburan tingkat atas. Terasa sempurna karena menampilkan dua klub ideal, Arema dan Persebaya.
Romantika dalam kenangan rivaitas menahun Surabaya dan Malang akan sulit dilupakan. Hiburan turnamen pramusim selalu dikenang oleh masyarakat. Melapas modernitas dalam segala hal, Piala Presiden kali ini tetap menampilkan cerita sejarah dan gairah dari dua kota di Indonesia.
0 Comments :
Post a Comment