Judul Postingan : Wirausaha Sosial, Tren Bisnis Anak Muda - VOA Indonesia
Share link ini: Wirausaha Sosial, Tren Bisnis Anak Muda - VOA Indonesia
Wirausaha Sosial, Tren Bisnis Anak Muda - VOA Indonesia
Di Pringsewu, Lampung, terdapat banyak pusat industri kecil pembuatan keset atau alas pembersih kaki, terutama dari kain perca. Usaha kecil dan menengah itu mempekerjakan karyawan dan memproduksi puluhan ribu keset setiap bulan dan dikirim ke berbagai daerah di tanah air.
Di sana lah Ani Lailia, mahasiswa Universitas Lampung Angkatan 2013, lahir dan besar.
Di sekitar rumahnya, Ani melihat ada banyak ibu rumah tangga yang tak memiliki kesibukan lain selain mengerjakan tugas domestiknya. Kondisi itu memberinya ide untuk memberdayakan para perempuan itu. Ani kemudian membuat skema kerja sama di manadia menyediakan bahan baku, dan ibu rumah tangga mengisi waktu luang dengan kegiatan ekonomi produktif. Lahirlah usaha bisnis sosial produksi keset, Sumringah.
Awalnya, Sumringah menerapkan sistem kerja berdasar upah, tetapi ternyata tidak efektif. Lalu, Ani mencoba sistem kemitraan. Ternyata sistem kemitraan lebih efektif dari segi keuangan dan lebih optimal.
“Mitra kami ibu rumah tangga semua. Mereka juga memiliki kegiatan masing-masing. Makanya peluang ini ada untuk ibu-ibu," papar Ani.
Sejak berdiri pada Maret 2017, produk keset Sumringah telah menyebar ke seluruh Indonesia melalui penjualan online. Ada 45 perempuan tergabung dalam Sumringah, dengan produksi sekitar 1.200 lembar keset setiap bulan.
Kualitas produk ditentukan oleh Sumringah. Mitra yang kualitasnya belum bagus, masuk ke program perbaikan. Sumringah juga menyediakan layanan pelatihan bagi ibu rumah tangga yang ingin bergabung memproduksi keset bersama mereka.
Bisnis Sosial Makin Berkembang
Sumringah adalah salah satu pemenang kompetisi Sociopreneur Muda Indonesia (Soprema) 2019. Kompetisi, yang berlangsung dari Mei-14 November 2019, merupakan ajang inkubasi sociopreneur yang dilaksanakan Youth Studies Centre (YouSure) dan Student Research and Creative Corner (SRCC). Keduanya adalah lembaga dari Fisipol UGM Yogyakarta.
Sociopreneur atau pebisnis sosial, menghitung seberapa besar lingkungan menerima manfaat dari bisnis yang dijalankannya. Karena itulah, skema usahanya menempatkan kelompok tertentu sebagai pelaku penting dalam usaha. Bisnis tersebut tidak hanya digerakkan oleh pemiliknya, tetapi menjadi milik bersama.
“Soprema menekankan pada inovasi dan dampak sosial. Sehingga tidak hanya sekedar inovasi, tapi bagaimana dampak sosial yang muncul dan punya kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan,” kata ketua penyelenggara Soprema 2019, Hempri Suyatna.
Selain Sumringah, pemenang Soprema 2019 lainnya adalah Tenoon di Makassar dan Sahabat Care di Palu
Kisah Tenoon di Makassar
Dari namanya, sudah jelas bisnis sosial ini menjual produk tenun. Tenoon memilih kain terbaik dari Toraja, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kain-kain itu kemudian dibawa ke Makassar untuk dijahit menjadi berbagai produk cantik oleh para penjahit difabel.
Nicky Claraentia Pratiwi dari Tenoon menyebut, usaha itu tidak hanya mengejar untung, tetapi juga memberdayakan komunitas sasaran. Mereka membeli kain langsung dari para perempuan penenun di wilayah timur Indonesia. Selanjutnya,dari kain-kain itu, komunitas difabel di Makassar membuat barang sehari-hari, seperti tas, dompet kecil serba guna atau pouch, hingga sampul notebook.
“Kami mengusung tiga misi. Pertama, pendekatan field trip.Kami tidak membeli di pengepul tetapi langsung ke penenun. Kami membentuk lingkungan inklusif dalam pekerjaan. Kami melakukan edukasi produk tenun kepada konsumen. Bisa dibilang selalu ada cerita dalam produk yang kami jual kepada konsumen,” kata Nicky kepada VOA.
Sekitar 95 persen produk Tenoon dijual di Indonesia, sisanya diekspor. Sebanyak 60 persen langsung dipesan perusahaan untuk menjadi suvenir resmi. Sisanya dibeli konsumen melalui toko online dan pameran.
Tahun depan, Tenoon akan meluncurkan proyek sosial bernama Berdaya Bareng. Proyek yang didukung sejumlah pihak, termasuk Kedutaan Besar Amerika, akan melakukan pemetaan kompetensi penyandang disabilitas di Sulawesi Selatan.
Aplikasi Karena Peduli
Di Palu ada Sahabat Care, yang membangun aplikasi yang memudahkan warga yang tinggal jauh dari fasilitas kesehatan, untuk mendapatkan layanan kesehatan, papar Luluk Sindriani kepada VOA.
Ide diawali oleh keprihatinan banyak batita yang harus menempuh perjalanan jauh ke kota untuk berobat.
“Ada pasien yang tinggal di daerah Palu, hanya saja dia jangkauannya satu jam. Tidak mungkin anak usia 2 bulan dibawa turun ke kota, kemudian kena angin, kan agak rentan kondisinya,” tutur Luluk.
“Jadi kita kepikiran, adanya teknologi, adanya internet, kenapa tidak dibuat semacam aplikasi yang bisa memudahkan orang-orang untuk menemukan layanan kesehatan di rumah,” katanya.
Sebelum gempa, ada sekitar 40 tenaga kesehatan tergabung. Bencana itu memangkas hampir separuh jumlah tersebut, baik karena menjadi korban maupun pindah ke kota lain. Saat ini, mereka tengah merekrut kembali tenaga kesehatan terutama bidan, untuk mengembalikan layanan. Bahkan tahun depan, layanan akan berkembang ke Parigi, di mana sekitar 20 tenaga kesehatan sudah siap bergabung.
Sahabat Care, menurut Luluk, bermanfaat bagi kedua belah pihak. Tenaga kesehatan menerima pendapat tambahan sedangkan masyarakat dimudahkan. Di kawasan yang minim akses transportasi, aplikasi itu membuat layanan kesehatan lebih terjangkau.
Sahabat Care,yang bisa diunduh dari Google Playstore itu, tentu saja tidak gratis. Sahabat Care menetapkan tarif sesuai layanan yang dibutuhkan. Lembaga ini menerima 30 persen dari tarif sebagai bentuk bagi hasil. Dana itu digunakan untuk pengembangan usaha dan kegiatan sosial, yang bermanfaat bagi warga Palu dan sekitarnya. Sejak sekitar setahun terakhir, Sahabat Care rutin melayani lebih dari 700 pasien.
Tren Bisnis Anak Muda
Kehadiran Tenoon, Sumringah dan Sahabat Care adalah bagian dari tren di kalangan anak muda. Mendirikan bisnis, bagi anak muda saat ini tidak hanya soal berhitung laba, tapi juga memasukkan unsur peran bagi masyarakat dalam rancangan bisnis dan penerapannya.
Imam Gunawan, Asisten Deputi (Asdep) Kewirausahaan Pemuda, Kementerian Pemuda dan Olahraga pun mencatat fenomena itu.
“Semakin kesini, permasalahan semakin kompleks dan semakin saling terkait. Jika dulu persoalan diselesaikan hanya dengan konsep entrepreneur dan nilai tambah saja, kini tidak lagi. Nampaknya, nilai-nilai sosial perlu dikawinkan dengan nilai-nilai entrepreneurship sehingga lahirlah sebuah entrepreneurship tetapi dengan nilai-nilai sosial yang kental di dalamnya,”paparnya.
Soprema 2019 mengumpulkan 436 tim sociopreneur muda dari 31 provinsi di Indonesia. Dalam proses seleksi 9-13 September terpilih 60 tim. Mereka kemudian dikumpulkan di Yogyakarta pekan lalu, untuk bertemu, berbagi cerita, dan menguraikan kelebihan masing-masing.
“Melalui Soprema, ini kita ingin menyemai inspirasi kaum muda dari seluruh nusantara, melibatkan pemuda di tanah air untuk mengembangkan kewirausahaan sosial,” kata Direktur YouSure, Najib Azca, saat peluncuran Soprema 2019. [ns/ft]
0 Comments :
Post a Comment