Judul Postingan : Klaim Fobia Tempat Sempit Eggi Sudjana, Bagaimana Mendiagnosisnya? - Kompas.com - KOMPAS.com
Share link ini: Klaim Fobia Tempat Sempit Eggi Sudjana, Bagaimana Mendiagnosisnya? - Kompas.com - KOMPAS.com
Klaim Fobia Tempat Sempit Eggi Sudjana, Bagaimana Mendiagnosisnya? - Kompas.com - KOMPAS.com
KOMPAS.com – Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengklaim bahwa tersangka kasus dugaan makar, Eggi Sudjana, mengalami ketakutan atau fobia berada di ruang sempit. Keluhan itu, ujar Fadli, disampaikan oleh Eggi sendiri ketika Fadli menjenguknya pada Rabu (29/5/2019).
Dikutip oleh Kompas.com, Rabu (29/5/2019); Fadli mengatakan, selnya (Eggi Sudjana) itu (berukuran) 3 x 1 meter dan (Eggi Sudjana) ada riwayat penyakit macam-macam yang saya kira bisa juga ini fobia terhadap tempat sempit sehingga bisa ada halusinasi.
Klaim tersebut belakangan dibantah oleh Direktur Tahanan dan Barang Bukti (Dir Tahti) Polda Metro Jaya AKBP Barnabas yang menyebut bahwa Eggi bukan menderita fobia tempat sempit, tetapi hanya kesulitan menyesuaikan diri secara psikologis dengan rutan.
Kompas.com menghubungi dr Dharmawan Ardi Purnama, SpKJ, Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa, via telepon pada Rabu (29/5/2019) untuk meminta pendapatnya.
Dharmawan menyampaikan bahwa fobia tempat sempit atau klaustrofobia termasuk dalam golongan fobia spesifik.
Baca juga: Ketakutan Akan Lubang Bukan Fobia Menurut Sains, Ini Penjelasannya
Seseorang yang memiliki kondisi ini bisa merasa ketakutan hingga mengalami serangan panik (panic attack) seperti jantung berdebar-debar dan sesak napas ketika berada di dalam tempat sempit, seperti lift atau toilet pesawat.
Akibatnya, orang-orang dengan fobia ini biasanya menghindari pencetus fobianya dengan luar biasa sampai lari ketakutan dan berteriak-teriak.
Seperti fobia pada umumnya, penyebab klaustrofobia sangat beragam. Ada yang karena proses belajar di mana orang tersebut pernah mendapatkan pengalaman yang negatif ketika berada di ruang sempit sehingga trauma, dan ada juga yang karena genetik.
“Fobia itu kan bagian dari kecemasan. Jadi orang yang pencemas itu bisa jadi ada bakat bawaan,” ujar Dharmawan.
Terkait Eggi, Dharmawan menyebut bahwa apa yang dialami oleh tersangka kasus dugaan makar itu bukan klaustrofobia.
“Ya enggak lah. (Ruangan) 3 x 1,5 meter itu (setara) ruang praktek dokter umum di samping pos hansip,” katanya.
Baca juga: Ilmuwan Ajari Kecerdasan Buatan Mengalami “Rasa Takut”, untuk Apa?
Kalaupun memang benar diduga fobia, dibutuhkan pemenuhan kriteria-kriteria, seperti yang tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) atau Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) 3, untuk mendiagnosis Eggi demikian.
“Ada tidak penghindaran yang hebat? Kalau tidak ada ya namanya perasaan tidak nyaman biasa bukan fobia. (Sebab) fobia itu ada kriterianya,” jelas Dharmawan.
Jika Eggi tidak memenuhi kriteria-kriteria dalam DSM-5 atau PPDGJ 3, maka dia tidak bisa didiagnosis memiliki fobia meskipun merasa tidak nyaman selama berbulan-bulan.
Berikut adalah tujuh kriteria diagnosis fobia spesifik yang tercantum dalam DSM-5:
1. Ketakutan berlebihan dan tidak masuk akal yang berlangsung terus menerus, biasanya terjadi ketika mendapati atau mengantisipasi obyek atau situasi tertentu yang menjadi pencetus fobianya.
2. Paparan terhadap pencetus fobia hampir selalu menyebabkan respons kecemasan mendadak, yang kemudian bisa menjadi panic attack. Pada anak-anak, kecemasan mungkin ditunjukkan dengan menangis, mengamuk, kedinginan atau melekat erat.
3. Orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya berlebihan atau tidak sesuai proporsi ancaman yang sebenarnya. Pada anak-anak, fitur ini mungkin tidak ada.
4. Situasi yang mencetuskan fobia dihindari atau ditanggung dengan kecemasan intens atau kesengsaraan.
5. Penghindaran, antisipasi dengan kecemasan atau kesengsaraan ketika mengalami situasi yang ditakutkan secara signifikan menganggu rutinitas normal orang tersebut, aktivitas sosial atau hubungannya, atau ada kesulitan besar yang dialami karena memiliki fobia tersebut.
6. Ketakutan bersifat terus menerus, biasanya berlangsung lebih dari enam bulan.
7. Kecemasan, panic attack atau penghindaran yang diasosiasikan dengan obyek atau situasi spesifik tersebut tidak disebabkan oleh gangguan mental lainnya, seperti gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres pasca-trauma, fobia sosial, gangguan panik dan lainnya.
0 Comments :
Post a Comment