Ketika Agama Lebih Laku daripada Sains - Solopos

Ketika Agama Lebih Laku daripada Sains - Solopos Rss Online Ketika Agama Lebih Laku daripada Sains - Solopos, Sains,

Judul Postingan : Ketika Agama Lebih Laku daripada Sains - Solopos
Share link ini: Ketika Agama Lebih Laku daripada Sains - Solopos

BACA JUGA


Ketika Agama Lebih Laku daripada Sains - Solopos

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (21/5/2019). Esai ini karya Dian Aulia Citra Kusuma, mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah dianauliack@hotmail.com.

Solopos.com, SOLO -- Perusahaan data analitis asal Inggris yang menjadi bagian dari Proyek Globalisme YouGove-Crambigde dan The Guardian, YouGove, beberapa pekan lalu merilis hasil survei dengan 1.001 responden di Indonesia terkait pemanasan global.

Rekomendasi Redaksi :

Hasilnya, dari 23 negara, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan jumlah orang yang tak percaya perubahan iklim disebabkan manusia. Arab Saudi dan Amerika Serikat menyusul di peringkat kedua dan ketiga.

Isu lingkungan bukan sesuatu yang sering dikaji secara umum dibanding dengan isu agama dan politik. Mereka yang mendiskusikan sering kali berangkat  dari studi atau komunitas. Beberapa waktu lalu film Sexy Killers (2019) mendapatkan banyak perhatian dari berbagai kalangan.

Setelah perilisan film ini muncul diskusi yang masif dengan banyak sudut pandang. Isu lingkungan ramai diperbincangkan, lepas dari huru-hara politik yang sedang santer kala itu. Setidaknya, sebagian dari kita menyadari ada hal yang mengerikan di balik isu lingkungan meski dampaknya baru akan terasa setelah sekian tahun lamanya.

Perubahan iklim memang nyata. Tiap-tiap dari kita merasakan. Musim hujan dan kemarau kini tak lagi terbatas pada September-Februari dan Maret-Agustus. Hujan bisa terjadi kapan saja. Panas berkepanjangan bisa terasa. Gempa dan tsunami selalu mengintai tanpa tanda.

Apa penyebabnya? Media atau pers selalu berusaha memberitakan apa yang terjadi. Mulai dari penanganan pemerintah dalam mitigasi bencana, jumlah korban, kerusakan daerah, hingga kisah-kisah humanis pengundang simpati.

Post-Truth

Tak sedikit pula yang berkata di media sosial lalu diangkat ke media massa bahwa Indonesia kerap terkena gempa karena azab dari Sang Pencipta. Penyebabnya ada banyak pendosa, mulai dari makin banyaknya lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) hingga pemerintah zionis yang dikutuk.

Fenomena post-truth (pasca-kebenaran) sedang jadi tren beberapa waktu belakangan ini. Opini publik dijadikan tolak ukur dibanding ilmu pengetahuan. Indonesia yang mayoritas muslim penduduknya, menjadikan agama sebagai sesuatu yang selalu dibawa.

Apa pun itu, jika kaitannya dengan agama, terutama Islam, masyarakat akan percaya. Tak mengherankan ada orang yang percaya gempa disebabkan negara dilaknat dan sebagian besar masyakarat mengamininya. Lalu, LGBT dan perilaku menyimpang lainnya dikambinghitamkan sebagai penyebab bencana.

Lingkungan hidup adalah urgensi yang harus diperhitungan. Isu tersebut erat kaitannya dengan kelangsungan bumi seisinya. Kita tak bisa menampik lingkungan juga memengaruhi ekonomi masyarakat. Petani menjadi yang pertama terdampak.

Di sebagian film Sexy Killers disebutkan beberapa dampak yang dialami petani, entah itu petani padi, karet, kelapa, maupun sawit. Emisi karbon terus bertambah setiap hari. Laporan versi World Resources Institute (WRI) pada 2014 menunjukkan  Indonesia menduduki peringkat ke-6 penyumbang 2,583 miliar ton emisi karbon ke udara.

Pemanasan global menjadi salah satu penyebab gagal panen hingga melambungkan berbagai harga pangan. Jika survei YouGove menghasilkan kesimpulan masyarakat Indonesia berada di tingkat pertama yang tidak percaya bahwa perubahan iklim dipicu oleh manusia, ini menunjukkan tanggung jawab masyarakat kita terhadap lingkungan masih rendah.

Sampah Plastik

Pembangunan yang mengorbankan sekian hektare lahan dan ribuan pepohonan menjadi bukti bahwa manusia adalah sang pelaku. Belum lagi limbah yang dihasilkan dari pabrik-pabrik serta sampah plastik yang terbawa ke lautan dan berlabuh di perut binatang laut.

Tanggung jawab seharusnya dibangun sejak dini, bukan sebatas wacana. Pembelajaran bukan lagi sebatas membuang sampah di tempatnya, sebab perkara lingkungan kini tak sesempit itu. Contoh-contoh kontekstual terkait dampak pada lingkungan perlu diperjelas lagi.

Literasi lingkungan hidup bukan hanya tentang tanah longsor dan banjir bandang akibat membuang sampah sembarangan. Alih-alih saking seringnya terjadi di Indonesia, perkara-perkara itu seakan-akan dianggap biasa.

Isu lingkungan bisa saja dianggap sebagai sesuatu yang paradoks dalam sepanjang manusia menjalani kehidupan. Kapitalisme menuntut kita memenuhi kebutuhan hidup yang mau tak mau harus mengorbankan lingkungan.

Menolak fakta objektif atas dasar opini publik yang menyangkutpautkan isu agama di dalamnya jelas keterlaluan. Ada banyak penjelasan ilmiah yang seharusnya ditelaah, bukan ditolak mentah-mentah.

Alasan terjadinya gempa Palu yang sebenarnya diteliti sejak 2008 sudah cukup jadi pelajaran bahwa ilmu pengetahuan menjawab fenomena alam. Lepas dari itu, diakui maupun tidak, pada kenyataannya, manusia memang faktor terbesar penyebab pemanasan global. Kita tak bisa mengelak kalau bertanggung jawab saja belum mampu.



Share on Google Plus

- Silly

-.

0 Comments :

Post a Comment