Tuberkulosis, Masalah Kesehatan di Lapas yang Perlu Solusi - Tempo.co

Tuberkulosis, Masalah Kesehatan di Lapas yang Perlu Solusi - Tempo.co Rss Online Tuberkulosis, Masalah Kesehatan di Lapas yang Perlu Solusi - Tempo.co, Kesehatan,

Judul Postingan : Tuberkulosis, Masalah Kesehatan di Lapas yang Perlu Solusi - Tempo.co
Share link ini: Tuberkulosis, Masalah Kesehatan di Lapas yang Perlu Solusi - Tempo.co

BACA JUGA


Tuberkulosis, Masalah Kesehatan di Lapas yang Perlu Solusi - Tempo.co

TEMPO.CO, Jakarta - Ruth Otegay masih ingat saat ia membantu merawat seorang tahanan politik bernama Meki Elosak yang ada di Wamena, Papua pada 2013 silam. Wanita yang berprofesi sebagai aktivis hak asasi manusia saat dihubungi oleh Meki Elosak yang mengadu tidak mendapatkan akses kesehatan oleh petugas penjara di lembaga pemasyarakat Wamena. "Pak Meki dipersulit untuk berobat saat di penjara," kata Ruth pada 26 April 2019.

Baca: TBC Mudah Menular, Perlukah Penderita Pisah Alat Makan?

Ruth mengatakan Meki ditahan saat dia dan rombongannya hendak pergi ke rumah duka salah satu kerabatnya. Tiba-tiba petugas menahan rombongannya yang berjumlah 8 orang karena diduga akan melakukan pemberontakan. Selama di penjara, Meki mengalami batuk yang berkepanjangan. Ia pun diperbolehkan melakukan tes kesehatan dan melakukan rontgen, hasilnya Meki dinyatakan positif terkena tuberkulosis. "Tapi saat hendak melakukan pengobatan lebih lanjut, Meki tidak boleh. Padahal kan kasus Tuberkulosis itu perlu perawatan yang panjang," kata Ruth yang juga seorang perawat.

Karena tidak boleh berobat, Meki pun mendapat berbagai ramuan herbal yang diminumnya secara rutin dari keluarganya. Ruth, yang tinggal di Jayapura, baru bertemu dan melihat kondisi Meki pada 2014 dan 2015. Saat itu Ruth mengunjungi Meki di dalam penjara di tempat Meki ditahan. Pada 2015, ia bahkan memantau kesehatan Meki dengan mendatangi tahanan itu setiap 2 pekan.

Kondisi lembaga pemasyarakatan di Wamena saat itu cukup mengenaskan. Ventilasi udara nyaris tidak ada. Air bersih pun mengalir hanya sekali sepekan. Para tahanan juga kurang mendapatkan asupan gizi yang baik. "Makan itu sangat dijatah. Misalnya senin makan hanya nasi saja, lalu selasa nasi dan tempe, Rabu nasi dan ikan, lalu nasi dan telur," katanya.

Ruth pernah ke lembaga pemasyarakatan di Jakarta. Dibanding lapas di Jakarta, lapas di Wamena masih sangat memprihatinkan. "Lapas di Jakarta, walaupun isi tahanannya banyak, tapi mereka (para narapidana) mendapatkan perawatan, dan ventilasinya juga sudah baik," katanya.

Berkat ramuan tradisional yang diberikan keluarga Meki, ia pun sembuh dua tahun setelah diserang TBC, yaitu pada 2015. Tahun itu pula Meki dinyatakan bebas. "Pak Meki sempat menghubungi saya untuk mengucapkan terima kasih. Namun sejak itu kami sudah tidak saling kontak," kata Ruth.

Penjara menjadi tempat yang mudah untuk menyebarkan tuberkulosis karena para penghuninya hidup berdesakan. Selain itu kelembapan dan kurangnya sirkulasi udara juga bisa meningkatkan risiko penularan tuberkulosis antara narapidana. "Tidak hanya narapidana, tapi petugas lapas juga jadi berisiko terkena tuberkulosis dengan situasi seperti in," kata Senior Tehnical Advisor TBC dan HIV FHI 360 Lisa Stevens pada pertengahan April 2019. 

Tuberkulosis sendiri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular langsung dari manusia ke manusia lewat percikan dahak. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru-paru, tapi bisa juga menyerang organ tubuh ain, seperti tulang, kelenjar, dan kulit. Kementerian Kesehatan menyebutkan Indonesia adalah negara ketiga terbanyak kasus tuberkulosis dengan jumlah 842 ribu kasus. Secara khusus di lembaga pemasyarakatan, terdapat sudah ada 1.224 narapidana yang terdeteksi mengidap penyakit tuberkulosis.

Kasubdit tuberkulosis Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan menangani penyakit di balik jeruji memang cukup kompleks masalahnya. Ada beberapa kendala utama yang dihadapi. Pertama dalam hal kepadatan penghuni lembaga pemasyarakatan. Ia mencontohkan lembaga pemasyarakatan Cipinang saja yang seharusnya 1,4 ribu orang malah diisi 4 ribu tahanan. "Jadi akhirnya overcrowded," katanya kepada Tempo akhir Maret lalu.

Kendala kedua dalam hal keuangan. Dana kesehatan untuk tahanan tuberkulosis sangat rendah. Sempat terbersit pemerintah menggunakan sistem rujukan seperti Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS), namun masalah teknis pun terjadi. "Tahanan itu kan dirotasi, sedangkan BPJS itu kan sesuai KTP. Kalau KTP Jakarta tapi dia melakukan kejahatan di Bali kan mereka jadi sulit pelaksanaannya. Anggaran 2017 yang seharusnya menggunakan pola itu, jadi dikembalikan sekian miliar," kata Imran. Kementerian Kesehatan, khususnya Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Ekonomi Kesehatan, Donald Pardede sedang mencari tahu penyelesaian masalah keuangan ini.

Masalah ketiga adalah dalam hal tenaga kesehatan yang jumlahnya tidak sepadan dengan jumlah lembaga pemasyarakatan. Masalahnya, menurut Imran, Pusat Kesehatan Masyarakat merupakan fasilitas kesehatan paling dengan dengan masyarakat berada di bawah pemerintah daerah. Puskesmas baru bisa mengobati bila ada petugas lapas yang melaporkan adanya kasus Tuberkulosis di lembaga pemasyarakatan setempat. "Padahal, yang penting sekali deteksi dini. Pada saat napi masuk itu discreening, kalau ditahan 3 tahun, dengan kepadatan itu, bisa jadi ia terkena TB dan tidak terdeteksi lagi," kata Imran.

Ia sangat menyarankan agar petugas lapas diajarkan cara mendeteksi TB. "Kalau andalkan puskesmas saja itu tidak bisa," katanya.

Penanggung Jawab Pengendalian TBC DPKR Ditjen Pas Kemenkumham Ummu Salamah membenarkan kendala yang disampaikan Imran. Ia mengakui kepadatan lembaga pemasyarakatan di Indonesia sudah sangat berlebih. Kelebihan kepadatan penghuni lapas di Indonesia saat ini sudah mencapai 100-500 persen.

Ia pun membenarkan bahwa anggaran kesehatan untuk para narapidana sangat rendah sehingga cukup menyulitkan mereka memberikan perawatan. "Selain jumlahnya sangat kecil, juga gabung dengan kesehatan non tuberkulosis. Sekarang setiap narapidana mendapat anggaran kesehatan sebanyak Rp 2.900 per tahun. dana kesehatan," kata Ummu. Ia mengatakan timnya sedang berusaha untuk menambah anggaran minimal setara dengan BPJS untuk masing-masing narapidana.

Soal tenaga kesehatan pun perlu dilakukan evaluasi. Ummu menyebutkan bahwa saat ini baru ada hampir 200 dari total 522 lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang memiliki tenaga kesehatan.

Hal yang bisa mereka lakukan adalah melakukan screening tuberkulosis pada narapidana yang baru masuk. Sehingga pengobatan bisa cepat diberikan. "Kami juga mencoba edukasi dengan selalu menggunakan masker bila sedang batuk.

Kepala Migrasi Unit Kesehatan Organisasi Internasional untuk Migrasi Raz Wali mengatakan penting sekali untuk memberikan program edukasi yang sangat luas. Kasus tuberkulosis di penjara harus dihadapi dan dicari solusi oleh semua pihak. "Caranya tidak bisa hanya dengan menambah ventilasi. Kalau perlu gunakan otoritas khusus," katanya.

Ia pun mendorong cepat tanggap para para petugas lembaga pemasyarakatan. Bila petugas mendengar salah satu narapidana batuk, seharusnya langsung diberikan X ray, discreening. Para petugas lapas harus lebih aktif," katanya.

Ketika ada narapidana yang keluar, penting juga dilakukan screening ulang. "Mereka juga perlu discreen agar tidak menularkan penyakit tuberkulosis kepada teman dan keluarga," katanya.

Baca: Pencegahan Penularan TBC Bisa Dimulai dari Santri

Sudah waktunya Indonesia untuk bangkit melawan TBC. Sudah saatnya Indonesia mempunyai jumlah penderita TBC baru kurang dari 500.000 per tahun dan sudah saatnya kita mengerahkan semua daya dan upaya untuk bisa mencapai target eliminasi TBC tahun 2030.



Share on Google Plus

- Silly

-.

0 Comments :

Post a Comment