Isu Kesehatan Dan Kerentanan Calon Ibu Kota Baru - Validnews

Isu Kesehatan Dan Kerentanan Calon Ibu Kota Baru - Validnews Rss Online Isu Kesehatan Dan Kerentanan Calon Ibu Kota Baru - Validnews, Kesehatan,

Judul Postingan : Isu Kesehatan Dan Kerentanan Calon Ibu Kota Baru - Validnews
Share link ini: Isu Kesehatan Dan Kerentanan Calon Ibu Kota Baru - Validnews

BACA JUGA


Isu Kesehatan Dan Kerentanan Calon Ibu Kota Baru - Validnews

JAKARTA – Gagasan besar pemerintah memindahkan ibu kota Negara bukan perkara sederhana. Pelbagai persiapan perlu dirancang secara detail dan matang demi membangun sebuah kota besar di lahan baru dalam Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Tak terkecuali urusan kesehatan para penghuni kota baru nanti.

Jauh-jauh hari sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai lokasi ibu kota baru, sejatinya sudah ada sejumlah penyakit yang rentan menjangkit penduduk lokal. Mulai dari infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) hingga malaria.

Kabupaten Penajam Paser Utara bahkan dikategorikan sebagai daerah endemis malaria tertinggi se-Kalimantan. Jumlahnya menembus 1.125 kasus pada 2018. Sementara per Agustus 2019 kemarin, tercatat sudah ada 507 kasus malaria.

Wilayah Kaltim kenyataannya memang didominasi hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendata, sekitar 9,5 juta hektare (ha) dari total lahan Kaltim seluas 13,0 juta ha adalah hutan. Tak heran jika wilayah Kaltim jadi area habitat subur nyamuk malaria.

Situasi ini juga diakui pemerintah setempat. Gubernur Kaltim Isran Noor bahkan sampai menyebut jika wabah malaria merupakan kasus yang wajar terjadi di Kaltim. Hal seperti ini menurutnya biasa terjadi dalam kawasan yang identik dengan hutan lebat.

“Biasa kayak gitu, apalagi di kampung kayak di Penajam. Sumber malaria itu kan di mana ada hutan lebat biasanya tempat habitatnya nyamuk, bukan hanya malaria,” ucap Isran saat ditemui Validnews, Rabu (4/9).

Dalam pandangan Isran, pengendalian penyakit dari vektor nyamuk seperti malaria, serta demam berdarah dengue (DBD) memang sulit dilakukan. Ini bahkan menilai, wabah yang sama juga terjadi di provinsi besar sekaliber Jakarta.

“Jakarta itu begitu hebatnya teknologi penanggulangan dan pencegahan, tetap saja banyak demam berdarah. Di negara ini, kalau kena wabah DBD, kena semua. Jadi itu biasa kayak gitu,” demikian katanya.

Walau telah dianggap biasa, pemerintah memang tak bisa mendiamkan hal ini begitu saja. Terlebih Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah menyadari, siklus penularan malaria di Kabupaten Penajam Paser Utara terus terjadi.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menuturkan, wabah malaria atau DBD memang rentan terjadi karena penduduk punya aktivitas rutin keluar masuk kawasan hutan. Penduduk biasa masuk hutan untuk melakukan penambangan, pembukaan lahan baru, berkebun, berladang, ataupun melakukan penebangan pohon (logging).

Situasi ini bisa makin gawat bagi mereka yang tertular malaria, mengingat fasilitas kesehatan setempat, kata Nadia, seringkali belum dapat memberikan pelayanan yang optimal.

“Sebagian besar adalah pada kegiatan yang tidak resmi, sehingga merupakan tantangan untuk mengakses kelompok masyarakat ini,” ujar Nadia kepada Validnews, Rabu (11/9).

Masalah ISPA
Sejatinya, bukan hanya malaria yang perlu diantisipasi di ibu kota baru nanti, tapi juga ISPA. Mengutip data dari Dinas Kesehatan Kaltim yang dikeluarkan tahun 2018, ISPA menjadi penyakit utama yang paling banyak ditemui di fasilitas kesehatan tingkat puskesmas. Tercatat pula pada tahun 2017, ISPA terjadi pada sekitar 42% pasien yang datang ke puskesmas.

Penyakit ISPA, kata Nadia, adalah penyakit yang sering ada di masyarakat. Penyakit ini terkait dengan daya tahan tubuh dan kualitas udara, baik di rumah maupun di luar rumah.

Karenanya, kualitas udara atau Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) harus dijaga dalam batas baik. Jadi, tidak menimbulkan dampak kesehatan bagi manusia ataupun hewan peliharaan.

Hanya saja, lanjut Nadia, untuk menangani masalah ISPA akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla), tentunya tidak dapat dilakukan oleh Kemenkes sendiri, tetapi harus dilakukan bersama lintas sektor lain.

“Upaya mitigasi kebakaran hutan dan lahan serta tanggung jawab tingkat ISPU, menjadi tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta sektor lainnya,” ucapnya.

Mengutip data KLHK, pada tahun 2018 ada sebanyak 26.605 hektare lahan dan hutan yang terbakar di Kaltim. Sementara sepanjang 2019 ini, jumlah lahan yang terbakar sudah mencapai 6.715 hektare.

Data titik panas (hotspot) terkini per September 2019 yang diakses pada Kamis (12/9) juga memperlihatkan kalau jumlahnya telah menembus angka 258 titik. Jumlah tersebut melesat dibanding bulan Agustus yang hanya sebanyak 91 titik.

Selain malaria dan ISPA, Nadia menyebut, secara konsep masih ada kemungkinan beberapa penyakit lain, khususnya yang berhubungan dengan air, seperti kolera, tifoid, disentri, gastroeneteritis, hingga hepatitis karena air minum yang tercemar kuman atau bakteri. Ada pula penyakit yang vektornya berhubungan dengan air, seperti DBD, filariasis (kaki gajah), serta yellow fever.

Imbas kawasan bekas pertambangan di Kaltim juga menjadi momok tersendiri. Pasalnya, ada peluang jika logam berat seperti Fe (besi), Mn (Mangan), Pb (timbal), As (arsenik), Hg (Merkuri), Se (Selenium), Cd (karnium) dan B (boron) dari wilayah tambang itu larut dalam air.

Ia menjelaskan, air yang ada pada bekas tambang batu bara secara kasat mata (visual) memang terlihat jernih. Meski begitu, tidak terdapat mikroorganisme ataupun ikan yang dapat hidup di sana.

Selain itu, tingkat keasaman (pH) air yang menggenangi area bekas tambang juga hanya sekitar 3.00, di bawah standar air baku mutu. Sehingga tidak layak digunakan untuk mandi dan cuci. Air tersebut, bahkan diyakini bisa membahayakan tubuh manusia jika digunakan sehari-hari atau untuk mengairi sawah.

“Dampak akumulasi dari kandungan zat kimiawi ini, bisa dirasakan dalam waktu 10 tahun. Tubuh yang terpapar zat logam berat bisa mengalami kanker kulit, kanker serviks, tubuh menjadi tremor (bergetar/tidak seimbang),” kata Nadia.

Demi mengatasi daftar panjang masalah ini, Kemenkes mengklaim bakal menggarap perencanaan yang baik untuk penyediaan air bersih. Termasuk juga untuk air minum yang sehat.

Begitu pula dengan pembenahan wilayah bekas tambang. Akan ada upaya untuk menutup kolam-kolam bekas tambang batu bara sebagai langkah intervensi lingkungan, atau melalui pengaturan derajat keasaman air di bekas tambang.

Orientasi Sehat
Bagaimana pun Nadia yakin kemunculan penyakit-penyakit tersebut bisa ditekan lantaran sudah ada kajian spesifik yang dilakukan. Apalagi, pada dasarnya penentuan lokasi ibu kota pemerintahan baru juga telah mempertimbangkan faktor risiko dari itu semua.

Di bawah koordinasi Bappenas, Kemenkes bersama kementerian dan lembaga lainnya juga dipastikan akan merancang konsep pembangunan berwawasan kesehatan.

“Pembangunan yang mengutamakan pembangunan berwawasan kesehatan merupakan bagian yang penting dan harus menjadi mainstream dalam membangun ibu kota ke depan,” sebut Nadia.

Dengan konsep itu, kata Nadia, artinya pembangunan yang dilakukan tidak hanya mengedepankan aspek fisik semata, namun juga mengintegrasikan semua penataan kawasan dengan orientasi sehat. Pendeknya, semua hal yang terkait dengan bangunan ruang, infrastruktur dan lingkungan, akan dikaitkan dengan aspek kesehatan.

Ia mencontohkan, di ibu kota baru, nantinya pembangunan  drainase, trotoar, ramp atau akses ke gedung atau bangunan, lingkungan yang sehat, ruang terbuka hijau, jalur pedestrian, pengelolaan sampah, semuanya merujuk pada aspek kesehatan.

“Beberapa permasalahan itu (penyakit) terjadi karena tidak baiknya infrastruktur.  Eksesnya pada layanan kesehatan. Dengan suatu pembangunan yang lebih terstruktur, itu akan lebih baik tentunya untuk pengendalian penyakit,” jelas Nadia.

Khusus untuk malaria, Nadia menambahkan, diperlukan cara pendekatan yang informal kepada kelompok masyarakat yang keluar masuk hutan, termasuk kepada aparat desa maupun tokoh agama setempat. Perlu pula dilakukan kerja sama dengan provinsi lainnya, baik untuk lintas sektor dan program

“Karena hutan yang di sekitar Kabupaten Penajam Paser Utara berbatasan dan juga merupakan wilayah Kabupaten lain seperti Paser, Kutai Barat dan Kutai Kertanegara,” urainya.

Untuk menekan angka malaria itu sendiri, ke depannya Kemenkes juga bakal memperbanyak Pos Malaria Hutan (Posmalhut). Lewat Posmalhut itu, pemindaian dan penyuluhan akan dilakukan khususnya bagi masyarakat yang beraktivitas keluar masuk hutan.

Perhatian ekstra itu dinilai penting, mengingat pembangunan juga dapat menjadi risiko malaria bila ada genangan air dan pengelolaan lingkungan yang terbengkalai.

Satu pandangan dengan Kemenkes, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih menekankan, proses pembangunan sudah sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan segi keamanan dan kesehatan masyarakat.

Hal itu perlu diupayakan agar nantinya pembangunan yang dilakukan tidak menimbulkan persoalan-persoalan kesehatan di kemudian hari. Terutama bagi penduduk baru yang mendiami daerah tersebut.

Daeng memaparkan, ada empat hal penting yang layak diperhatikan dalam pembangunan berwawasan kesehatan. Poin pertama soal lingkungan.

Lingkungan yang akan menjadi pusat pembangunan mesti dikaji potensi-potensi penyebab gangguan kesehatannya. Hal lain yang tak kalah penting, kata Daeng, adalah faktor perilaku masyarakat, genetik para pendatang, serta ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan

Daeng merincikan, rasio serta kesiapan ahli atau tenaga medis di ibu kota baru juga harus terpenuhi dengan baik. Terutama untuk layanan kesehatan yang disiapkan secara spesifik, untuk presiden dan wakil presiden misalnya.

“Harus dianalisis, ditempati sekian banyak orang. Apalagi ibu kota Negara pasti pejabat-pejabat kan, bagaimana mem-planning ketersediaan layanan kesehatan di sana,” tutur Daeng kepada Validnews, Rabu (11/9).

Dilema Pembangunan
Meski begitu Daeng tetap mengingatkan, bagaimana pun model pembangunannya, hal tersebut masih berpotensi menjadi pisau bermata dua bagi pemberantasan malaria. Alasannya, nyamuk-nyamuk akan membidik daerah-daerah penduduk sebagai tempat perindukan baru lantaran habitatnya tergantikan dengan bangunan anyar.

“Tapi itu tidak masalah jika diantisipasi dengan baik, misalnya daerah-daerah penduduk itu sanitasinya dijaga baik. Penduduk yang mendiami itu ya harus perilaku sehat, supaya tercegah dari gigitan nyamuk,” kata Daeng.

Kuncinya, sambung Daeng, adalah dengan memperhatikan pengendalian vektor nyamuk. Hal tak kalah penting, kata Daeng, juga menyangkut pemahaman pendatang lama dan baru soal kebersihan lingkungan yang harus sejalan dengan pola hidup sehat.

Menurutnya, perlu ada peringatan kepada masyarakat, saat wilayah calon ibu kota baru mulai dikembangkan. Jika tidak dilakukan, Daeng khawatir hal itu akan menimbulkan persoalan kesehatan, entah itu malaria maupun penyakit yang selama ini membayangi Kaltim.

Di sisi lain, dia menekankan faktor lingkungan juga merupakan poin esensial yang harus disoroti. Khususnya perihal ketersediaan air bersih.

“Seperti kasus persoalan galian tambang, itu kan memengaruhi kualitas air. Faktor lingkungan yang besar itu, air adalah persoalan dominan dari faktor lingkungan yang sangat berpengaruh kepada kondisi kesehatan,” tegasnya.

Untuk hal ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga sempat menyampaikan harapannya agar pemerintah segera melakukan langkah konkret. Di antaranya dengan melakukan analisis dan kajian terhadap danau bekas galian tambang. 

Analisis itu harus mencakup kemana air di galian tambang itu mengalir. Jangan sampai air dari lubang bekas tambang ini mengganggu air sumur warga dan budidaya pertanian warga.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Agustina Situmorang. Ia mengatakan, salah satu antisipasi terbaik yang bisa dilakukan terhadap calon ibu kota baru yakni memperhatikan kondisi air.

Alasannya, air akan menjadi faktor penyebaran penyakit terbesar, mulai dari demam berdarah hingga jenis penyakit kulit menular lainnya. 

“Untuk itu, saya kira pemerintah, Kemenkes dan pihak-pihak terkait lainnya, sudah mengantisipasi itu semua yah,” sebut Agustina kepada Validnews, Rabu (11/9).

Perilaku Pendatang
Di luar itu, kata Agustina, calon ibu kota baru tampaknya juga harus bersiap dengan potensi serangan penyakit-penyakit lainnya. Salah satunya, penyakit akibat perilaku masyarakat yang melakukan perpindahan atau migrasi dari Jakarta ke Kaltim.

Menurutnya, ada kemungkinan beberapa anggota keluarga dari ASN merasa fasilitas di ibu kota baru belum memadai. Alhasil, anggota keluarga tersebut memutuskan untuk tidak ikut pindah dan menetap di Jakarta.

“Nah, nanti akan banyak perilaku-perilaku dari yang meninggalkan keluarganya. Istilahnya jadi ‘bujang lokal’,” sebutnya.

Dari situ, kata Agustina, tingkat hiburan dewasa dikhawatirkan akan berkembang pesat sebagai dampak dari ‘bujang lokal’ tersebut. Ia yakin, penyakit jenis HIV akan menyerang ibu kota baru jika hal itu terjadi.

“Memang tergantung pribadi, tapi kan kalau kita lihat kecenderungannya akan seperti itu,” tegas Agustina.

Ia pun menggarisbawahi, penularan penyakit akan bergantung pada kondisi penduduk di wilayah itu sendiri. Kecepatan penularan penyakit pun tergantung dari seberapa banyak jumlah penduduk atau tingkat kepadatan penduduk itu sendiri.

Maka, Agustina menekankan antisipasi harusnya tak hanya dilakukan oleh pemerintah saja, melainkan seluruh pihak termasuk elemen masyarakat.

Senada, peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Budi Haryanto juga menyoroti soal kegiatan para pendatang. Menurutnya para pendatang nantinya berpeluang menimbulkan persoalan baru seputar kesehatan masyarakat. Apalagi kalau penduduk yang datang itu secara kuantitas terbilang cukup banyak.

“Harus dilihat sebenarnya kegiatan manusia seperti apa yang kemudian bisa merusak lingkungan, yang kemudian lingkungannya bisa potensial untuk menjadi tempat-tempat bakteri, mikroorganisme, pencemar-pencemar kimia,” sebut Budi saat dihubungi Validnews, Rabu (11/9).

Ada kemungkinan, kata Budi, para pendatang tak bisa mengimbangi standar-standar sanitasi dari infrastruktur ala perkotaan yang telah dirancang dengan apik. Contoh sederhananya, adalah perilaku membuang sampah sembarangan.

Walau nantinya pembangunan ibu kota baru itu diatur sedemikian rupa dari sisi konstruksi, misalnya dengan meminimalkan genangan air atau memperhatikan pengolahan limbah serta aliran air sekalipun, keberlanjutan masalah kesehatan semuanya bergantung pada aktivitas masyarakat di sana.

“Proyeksinya (potensi penyakit baru) belum jelas dari sisi kesehatan. Kita juga belum tahu jelas kegiatan apa saja nanti yang akan ada di sana, dan seperti apa nanti lingkungan baru yang akan diciptakan,” singkat Budi. (Shanies Tri Pinasthi, Yatti Febri Ningsih, Bernadette Aderi, Fin Harini)



Share on Google Plus

- Silly

-.

0 Comments :

Post a Comment