Judul Postingan : Islamisasi Sains, Perlukah? - kiblat
Share link ini: Islamisasi Sains, Perlukah? - kiblat
Islamisasi Sains, Perlukah? - kiblat
Ditulis Oleh : Astriva Novri Harahap, mahasiswi Kimia FMIPA Unila, pengajar sains, dan mahasiswi program Sekolah Islamisasi Sains UIKA Bogor.
KIBLAT.NET – Salah satu tujuan pendidikan nasional yang termuat dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggung jawab.
Namun, pengajaran sains di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia nyatanya belum juga menunjukkan hasil yang maksimal dalam mendorong terwujudnya tujuan tersebut, terutama dalam menjadikan peserta didik manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Padahal, sains adalah salah satu pelajaran yang paling mudah digunakan untuk mengenalkan seseorang pada Tuhannya.
Proses pengajaran sains di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan. Konsep-konsep tentang Rabb Sang Maha Pencipta hampir tidak ditemukan dalam pengajaran sains. Ia hanya dilimpahkan pada mata pelajaran Agama semata yang hanya diajarkan maksimal dua jam pelajaran setiap pekannya.
Keadaan ini diperparah dengan referensi pengajaran sains yang hampir seluruhnya berkiblat ke Barat, yang telah mereduksi bahkan menihilkan nilai-nilai ketuhanan yang ada di dalam sains. Dalam perspektif sains modern ala Barat, alam, sebagai objek utama ilmu sains hanyalah sebatas benda semata yang tidak memiliki nilai-nilai ruhani. Alam hanya akan bernilai apabila ia dapat dikuasai dan dimanfaatkan.
Sedangkan, makna alam dalam Islam tidak demikian sempitnya. Dengan tetap memperhatikan segala bentuk kebermanfaatannya, Islam memandang alam sebagai sebuah bukti dan pertanda. Tanda akan keberadaan sesuatu yang lain, yaitu Allah, Tuhan Semesta Alam. Artinya, segala fenomena alam adalah cara Allah untuk menunjukkan keberadaan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Islamisasi Sains muncul untuk menjawab problematika zaman sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sains Islam bukan berarti sains hari ini ditambah Al-Qur’an dan Hadits. “Ini sama saja dengan membungkus racun dengan madu. Sains Islam berawal dari metodologi berpikir yang Islami,” ujar Dr. Wido Supraha, M.Si. ketika menyampaikan kuliah pada Sekolah Islamisasi Sains di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA), Bogor (16/02).
Dosen yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Islamisasi Sains Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor ini juga mengatakan bahwa Sains Islam berangkat dari menempatkan Konsep Tuhan sebagai bangunan sentral dalam kerangka ilmu. Inilah yang membedakan konsep sekuler yang dibawa Barat dengan Sains Islam.
Memang, pada dasarnya sains adalah ilmu untuk hidup yang kemudian berkembang menjadi ilmu agar hidup lebih terhormat, hingga menjadi ilmu agar hidup lebih mudah. Intinya, demikzaianlah fungsi praktis dari sains itu sendiri. Namun, apabila pengajaran dan pengembangan sains ditujukan hanya untuk mencapai hal tersebut, ini tentunya merupakan bentuk penyempitan sudut pandang terhadap sains.
Perbedaan mendasar akan pola pikir Barat dan Islam dalam memandang sains dan alam ini nantinya akan sangat berdampak pada tujuan pengembangan ilmu sains itu sendiri. Lebih jauh lagi, selain melahirkan manusia-manusia yang semakin beriman pada Tuhannya, Sains Islam akan melahirkan dunia yang seimbang. Hal ini sebagaimana ketika Allah menyebut manusia sebagai khalifah di dalam Al-Qur’an yang salah satu maknanya adalah ‘menggantikan’ Allah dalam merawat dan menjaga bumi sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia. Tentu saja ini adalah tanggung jawab yang besar.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas, bahwa belum pernah dunia ini berada dalam ketidakseimbangan setelah terjadinya revolusi industri. Mengomentari hal ini, Dr. Wido yang juga merupakan peneliti di INSISTS itu mengatakan, “Itu maksudnya, Al-Attas ingin bilang bahwa sains ketika dipegang oleh Barat, didukung oleh politik dan kekuasaan membuat dunia ini jadi rusak. Maka tujuan dari Sains Islam itu sendiri adalah merawat dan menjaga bumi ini dari kehancuran. Bumi ini adalah titipan Allah.”
Oleh karena itu, penting bagi seorang muslim untuk merekonstruksi pola pikirnya dengan Islamic Worldview. Salah satu caranya adalah dengan menggali lebih dalam tentang sejarah sains secara jujur dan terbuka. Darinya akan timbul sikap penghayatan terhadap sains sebagaimana yang dilakukan oleh para saintis muslim terdahulu. Karena sejatinya, bicara sains adalah bicara penghayatan. Sikap penghayatan ini lahir dari semangat yang besar dari para saintis muslim terdahulu untuk dapat ber-Al-Qur’an secara lebih baik. Sehingga, sejarah mencatat kegemilangan peradaban justru ada pada peradaban Islam.
George Sarton, Bapak Sejarah Sains, membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan bahwa muslim hanya butuh waktu 2 abad untuk memimpin peradaban sains. Sedangkan Yunani Kuno butuh sekitar 4 abad, dan pada akhirnya berakhir dengan kerusakan moralitas. Dalam bukunya The History of Science, ia juga mengatakan, “Umat Islam merupakan bangsa yang jenius di wilayah Timur pada abad pertengahan dan memberikan kontribusi terbesar bagi umat manusia.”
Islamisasi Sains bukan semata-mata mencukupkan produk sains dengan label lebih ‘islami’. Namun, mengembalikan para pembelajar dan pelaku sains dalam kerangka berpikir yang tepat. Sekali lagi, Sains Islam hadir dengan meletakkan Konsep Tuhan sebagai bangunan sentral dengan meyakini bahwa segala kebenaran itu datangnya dari Tuhan, Allah azza wa jalla.
Dengan kembali pada kerangka berpikir yang tepat, dan diwujudkan dalam melakukan perbaikan terhadap sistem dan instrumen pengajaran sains di Indonesia, maka bukan hal yang sulit untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang disebutkan di atas secara merata.
0 Comments :
Post a Comment